Si Doel Anak Sekolahan, Tentang Pendidikan dan Kritik Pembangunan
Kamis, 15 Mei 2025 20:12 WIB
Refleksi kritis dari sinetron Si Doel Anak Sekolahan ungkap pentingnya pendidikan dan ironi pembangunan Jakarta era Orde Baru.
***
Akhir-akhir ini penulis merasa bosan melihat media sosial dipenuhi berita negatif tentang pemerintahan. Berita korupsi, UU problematik, teror kepada kebebasan senantiasa memenuhi beranda Instagram penulis. Kebosanan itu kemudian menggiring penulis tertarik untuk menonton televisi. Satu per satu saluran televisi dijelajahi dan kemudian berhenti pada suatu saluran yang sedang menayangkan suatu sinetron. Sinetron yang terlihat cukup lawas. Ceritanya juga sangat relate dengan kehidupan masyarakat. Yap, itu ialah sinetron Si Doel Anak Sekolahan.
Sinetron Si Doel Anak Sekolahan agaknya memang berhasil masuk di hati banyak orang. Sinetron ini belakangan penulis ketahui telah ditayangkan pertama kali pada awal tahun 90-an. Sinetron ini kemudian sering ditayangkan ulang sampai sekarang.
Apa yang hendak penulis sampaikan melalui tulisan ini adalah apa yang penulis temukan pada sinetron ini. Mengapa ia begitu kuat bertahan jadi tontonan masyarakat adalah pertanyaan penulis ketika menontonnya.
- Pendidikan, Kunci Kesuksesan
“Biar Babe tukang ngomel, namanya anak, biar kata kaki bakal kepala, kepala bakal kaki, demi lo Babe ikhlas... Supaya lo pinter, supaya tinggi sekolahnya. Jangan kayak Babe jadi sopir, atau tukang buah, tukang layangan, calo tanah.”
Jika kalian sering nonton sinetron ini, pasti kalian ingat dialog ini. Dari dialog ini kita dapat memahami harapan bapak si Doel, Babe Sabeni, agar si Doel menjadi seorang yang berpendidikan. Harapan ini muncul dari kesadaran bahwa memperoleh kesempatan pendidikan adalah cara untuk memperoleh kehidupan yang lebih berkualitas.
Sayangnya, pandangan demikian digambarkan bukanlah pandangan yang umum dimiliki masyarakat pada masa itu. Kebanyakan masyarakat Betawi digambarkan tidak memiliki motivasi yang tinggi untuk meraih pendidikan tinggi. Dari lingkaran keluarga si Doel sendiri, ada Mandra contohnya. Encang (dibaca: paman) si Doel ini bahkan tidak tamat SD. Ia kemudian diceritakan menggantungkan pencahariannya dengan narik oplet peninggalan Babe.
Tingkat pendidikan yang rendah tersebut akhirnya membuat pilihan hidup mereka menjadi terbatas. Mereka tidak memiliki banyak kesempatan menuju kesuksesan. Sebagian dari mereka kemudian menggantungkan kehidupan masa depan mereka pada warisan orang tua. Sementara bagi para perempuan, mereka lebih memilih untuk dijodohkan dengan pria mapan yang telah dipilih oleh orang tua mereka.
Nah, jalan yang ditempuh si Doel inilah yang penulis pikir hendak dicontohkan. Dengan menjadi terdidik, seseorang dapat membuka berbagai kesempatan. Oleh karena itu, memperoleh pendidikan merupakan jalan yang paling ideal untuk meraih kesuksesan.
- Nasib Ironi Masyarakat Betawi
Hidup di Jakarta di masa era Orde Baru, latar tempat dan waktu Si Doel Anak Sekolahan tersebut menyajikan perspektif lain yang juga menarik dalam melihat kondisi masyarakat Betawi pada masa itu. Pertama, dari segi waktunya, era Orde Baru diidentikkan dengan era pembangunan.
Pembangunan laksana ideologi bagi pemerintah Orde Baru. Dari swasembada pangan, era tinggal landas, dan ramalan menjadi macan ekonomi baru Asia—Indonesia di era Orde Baru dicitrakan dengan kemajuan.
Kemudian, dari segi tempatnya, Jakarta adalah ibu kota yang hendak menjelma menjadi metropolis. Kemajuan ekonomi yang dicapai Indonesia terangkum dalam kemewahan Jakarta. Ibaratnya, Jakarta adalah halaman depan atau ruang tamu bagi Indonesia, yang dapat membuat tetangga segera terkesima dengannya.
Oleh karena itu, masyarakat Betawi hidup di era dan lingkungan yang mana pembangunan sedang marak-maraknya terjadi. Namun kehidupan mereka justru sangat bertolak belakang dengan era dan lingkungannya tersebut. Bukan karena adat masih dipegang, namun karena hidup mereka yang masih jauh dari kata sejahtera.
Masyarakat Betawi adalah bumiputra Jakarta. Namun kondisi yang mereka alami sangat ironis dengan status mereka tersebut. Masyarakat Betawi terdesak tinggal di pinggiran kota Jakarta, karena pusat-pusat kota tidak diprioritaskan untuk mereka. Padahal aset-aset properti paling mahal di Jakarta berdiri di atas bekas tanah leluhur masyarakat betawi
Model Pembangunan yang Kolonial
Situasi miris inilah yang penulis sebut sebagai model pembangunan yang kolonial. Pembangunan yang diperuntukkan untuk kesejahteraan segelintir, bukan untuk kesejahteraan bersama. Pantura adalah bukti bahwa penjajah pun melakukan pembangunan. Namun bukan untuk rakyat, melainkan untuk mobilisasi tentara penjajah—agar kuku penjajah tetap menancap kuat di tanah rakyat.
Lalu ada juga kebijakan Politik Etis. Dalam buku-buku sekolahan diterangkan bahwa kebijakan ini adalah bukti bahwa Pemerintah Belanda tidak lupa berterima kasih kepada rakyat Indonesia. Namun kenyataannya, kebijakan ini hanya untuk melanggengkan nasib rakyat sebagai kuli bagi orang-orang Belanda.
Edukasi diberikan agar segelintir rakyat Indonesia dapat menjadi pegawai-pegawai pemerintahan Belanda, sehingga mereka dapat ikut dipekerjakan untuk memeras sebangsanya. Irigasi diberikan agar komoditas yang laku di Eropa dapat tumbuh subur di tanah rakyat. Transmigrasi? Tentu rakyat dipindah bukan agar dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik, namun dipindah agar dapat dipekerjakan di pabrik atau perkebunan milik orang Belanda.
Kesimpulan
Alasan mengapa sinetron Si Doel Anak Sekolahan bertahan tentu dapat berlainan setiap orang. Bahkan bagi para penontonnya, alasan mereka tetap setia menonton sinetron ini dapat berbedabeda. Pesan-pesan yang hendak disampaikan sinetron dapat ditangkap secara berbeda tergantung perspektif setiap orang.
Begitu pula dengan pesan kritis yang penulis kulik dari sinetron Si Doel Anak Sekolahan, ia hanyalah opini pribadi penulis. Namun penulis berharap model pembangunan yang tidak memperhatikan aspek keadilan tidak berlanjut, sehingga tidak muncul Si Doel-Si Doel baru dari daerah-daerah lain di Indonesia

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Si Doel Anak Sekolahan, Tentang Pendidikan dan Kritik Pembangunan
Kamis, 15 Mei 2025 20:12 WIB
Pemilu 2024; Lupakan Permusuhan Menyongsong Masa Depan
Jumat, 15 September 2023 10:28 WIBArtikel Terpopuler